Melihat keadaan Alam dengan panorama hijau menghampar dan sejuk selalu memberi warna dan rasa tersendiri bagi yang menikmati atau sekedar melewatinya. Alam yang hijau dan lestari banyak menjanjikan keindahan, kemakmuran dan keberlangsungan kehidupan sepanjang masa. Manusia, air dan habitat lainnya menggantungkan sumber kehidupan padanya. Alam hijau lestari serupa nafas kehidupan yang tiap detik harus dihirup, jantung yang terus berdetak untuk mempertahankan nyawa agar tetap berdiam dalam jiwa. Satu-kesatuan yang tak boleh terpisah.
Menggerus alam dengan tak terkendali memutus mata-mata rantai kehidupan. Menyengsarakan. Tak hanya ekosistem terdekatnya melainkan seluruh populasi yang berdiam di muka bumi. Perlakuan yang semena-mena sengaja ataupun tidak bak menebar benih-benih virus kematian di segala penjuru. Ironis dan tragis. Kita kan melihat kematian-kematian yang memilukan, punah dan tak beregenerasi.
Efek perlakuan terhadap alam untuk tetap menjaganya dan atau memulihkan, parahnya tak serta merta di nikmati seketika. Membutuhkan rentang waktu yang lama dan usaha yang sedemikan kerasnya. Mempertahankan nilai dan idealisme antara alam dan kebutuhan akan hidup menjadi polemic yang tak kunjung usai. Kita membutuhkan alam dan alam membutuhkan kita untuk tetap menjaganya lestari, namun tak jarang kita menemukan “penjaga-penjaga” alam yang bersifat ganjil dan mengganjal.
Belum lama ini, saya melewati kawasan hutan yang masih hijau, lestari nampaknya. Nuansa kesejukan dan rindang masih terasa saat menapak di daerah itu. Waborobo. Perjalanan dinas pemantauan lingkungan menetapkan Waborobo menjadi jadwal dalam agenda pembagian kerja lapangan saya. Awalnya saya dan tim ingin melihat kondisi sungai yang melintas di wilayah tersebut yang akan menghubungkan dengan sungai Baubau. Namun kami tak menemukan itu, sungainya telah lama kering menurut sumber dari kelurahan setempat.
Namun, sungai kering itu rupanya menjadi pelajaran bagi warga. Kemana sumber mata air diperoleh jika hutan yang menjadi penyedia tak dijaga kelestariannya. Beruntung, Alam sekitar lingkungan itu masih menyisakan dua sumber mata air yang menjadi konsumsi seluruh warga. Sumber mata air Matapulu dan gaegena. Kedua sumber mata air ini tersimpan dalam hutan kaombo (hutan lindung), hutan yang dijaga ketat oleh warga dan tokoh-tokoh ada setempat. Sebagai contoh peran mereka adalah seperti mengambil kayu yang sudah mati untuk kayu bakar dalam kawasan itu tidak diperbolehkan, rotan yang ada untuk diolah warga setempatpun juga tak diperbolehkan. Ini Bentuk kearifan lokal yang masih ada dan dilestarikan.
Inilah bentuk pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam tata kehidupan masyarakat dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup agar tetap terjaga. Peran tokoh-tokoh adat dalam melestarikan kawasan hutan kaombo menjadi mutlak. Nilai- nilai budaya, religi dan adat istiadat adalah warisan turun-temurun yang menjadi buku pedoman untuk menyatukan dan melestarikan keberadaan hutan tetap menghijau.
Seminggu Setelah menapak di kelurahan Waborobo
Baubau,25 maret 2012
Komentar
Posting Komentar