Sejenak mengiring alam pikirku pada masa kanak-kanak di Kota kelahiran. Kotan dengan sebutan Anging Mamiri, Ujung Pandang. Kota dengan romansa masa kecil. Penuh keceriaan dan keriangan, Apalagi saat mengingat jalan-jalan menggunakan bendi. Sangat teringat sekali saat jalan sore ataupun belanja ke pasar menemani mama Waktu itu Tahun 1989. Menyusuri jalan dari Rumah tepatnya Jl. Perintis kemerdekaan ke pasar Senggol atau ke pasar Terong. Sangat mengasyikkan sambil bernyayi..
“Pada hari minggu ku turut Ayah ke Kota..
Naik Delman stimewa ku duduk dimuka
Ku duduk samping Pak Kusir yang sedang bekerja
Mengendarai Kuda supaya baik jalannya
Tuk…tik…tak…tik…tuk…tik..tak…tik…tik..tuk…tik..tak..tik…tuk..
Tuk…tik…tak…tik…tuk…tik…tak.. Suara Spatu Kuda..”
Begitu Kira-kira penggalan nyanyian yang slalu tersenandungkan mengiring perjalanan ketika menumpangi Bendi/Delman. Hehehehe…
Tentang Hal ini, siapa yang tak kenal dengan angkutan ini. Angkutan tradisional yang sudah ada sejak masa Hindia Belanda. Kendaraan yang pada masa itu di gunakan sebagai transportasi tuk kalangan istana atau priyayi.Seingat yang baca Pada kesultanan Mataram Sultan Hamengku Buwono VII. Namun seirng dengan perkembangan zaman, kini digunakan sebagai kendaraan umum. Tidak ada ada lagi pengecualian. Bahkan ia juga dikenal sebagai kendaraan warisan budaya.
Delman, Dokar, Bendi, Andong atau Cidomo kesemuanya adalah sama. Perbedaannya hanya terletak pada roda yang digunakan. Untuk Dokar/Bendi menggunakan Roda Kayu dan ditatik oleh satu Kuda, Andong menggunakan empat roda dan ditarik oleh satu atau dua ekor kuda. Beda sedikit halnya dengan Cidomo (Bahasa Sasak) Kendaraan khas pulau lombok ini menggunakan mobil bekas sebagai roda dan ditarik oleh satu ekor Kuda. Namun uniknya Cidomo hanya digunakan sebagai angkutan barang sedangkan Andong atau Dokar digunakan sebagai angkutan Penumpang.
Sedikit mengulas tentang asal muasal kata Delman. Nama Delman diambil dari nama penemunya. Dia Adalah seorang pengusaha Dokar, Litografer dan Insinyur di masa Hindia Belanda “Charles Theodore Deelman”. Karena memiliki Dokar yang banyak, maka orang-orang pada masa itu menyebutnya Dokar Delman sehingga disebutlah sampai sekarang. Namun untuk Orang Belanda sendiri Dokar disebut dos-Ć -dos (Punggung pada punggung, atau sejenis kereta yang posisi duduk penumpanganya saling memunggungi), sehingga istilah dos-Ć -dos ini kemudian oleh penduduk pribumi Batavia disingkat menjadi ‘ Sado ‘.
Tapi lagi-lagi Perkembangan zaman, Perubahan masa Kendaraan yang ramah lingkungan ini tak lagi saya temukan ketika kembali mengunjungi kota kelahiran saya tahun lalu. Daerah sekitarnya pun seperti Maros dan Soppeng sudah sangat jarang tuk ditemui. Bisa dihitung dengan jari. Tak hanya di kota Ujung Pandang berdasarkan dari media dan waktu itu pas nonton stasiun TV Trans-7 yang memberitakan di kota-kota lain di Indonesia tentang status keberadaan Andong, tenyata Kendaraan ini sudah menjadi suatu yang langka. Kendaraan ini menjadi kendaraan yang termarjinalkan, tergerus oleh modernisasi kendaraan canggih yang menguunkan mesin seperti mobil, ojek, atau Bentor. Meski begitu, ada satu hal yang menarik perhatian saya, ternyata ada satu daerah yang masih banyak memiliki kendaraan jenis ini. Daerah itu adalah Yogyakarta. Kota dengan sebutan Kota Budaya. Berdasarkan sumber yang saya baca dan teman-teman yang tinggal di Jogja kendaraaan ini banyak ditemukan di sepanjang jalan Malioboro, Pasar Ngasem, dan Kota Gede. Di daerah sekitar Jogjapun masih banyak ditemukan seperti Kota Solo dan Klaten. Disana Andong digunakan sebagai angkutan umum dan angkutan wisata dengan tarif yang ditentukan berdasarkan jarak yang di tempuh. Minimal Lima ribu rupiah (jarak Dekat).
Waaahh….Kapan ya bisa kesana…,Mengulang Romansa masa kecil.. naik bendi yang Nyaman, aman dan mengasyikkan sambil bernyanyi riang….
“Tuk…tik…tak…tik…tuk…tik..tak…tik…tik..tuk…tik..tak..tik…tuk..
Tuk…tik…tak…tik…tuk…tik…tak.. Suara Spatu Kuda..”
Tunggu Aku di Jogja…
Komentar
Posting Komentar